Thomas L. Friedman seorang coloumnist asing The New York Times dalam bukunya ”World is Flat: A Brief History of the Twenty-first Century” menggambarkan bagaimana peradaban dunia saat ini. Friedman menggambarkan bahwa globalisasi merupakan hal yang tidak bisa di tolak lagi oleh setiap bangsa. Friedman memaparkan tiap tahapan-tahapan globalisasi secara rinci. Globalisasi menurut Friedman terjadi pada hampir di seluruh negara di dunia. Globalisasi yang dijabarkan termasuk didalamnya juga pengaruh besar teknologi informasi dalam aktifitas manusia .
Perkembangan teknologi informasi yang terjadi pada hampir setiap negara sudah merupakan ciri global yang mengakibatkan hilangnya batas-batas negara (borderless). Negara yang sudah mempunyai infrastruktur jaringan informasi yang lebih memadai tentu telah menikmati hasil pengembangan teknologi informasinya, negara yang sedang berkembang dalam pengembangannya akan merasakan kecenderungan timbulnya neo-kolonialisme . Hal tersebut menunjukan adanya pergeseran paradigma dimana jaringan informasi merupakan infrastruktur bagi perkembangan suatu negara. Tanpa penguasaan dan pemahaman akan teknologi informasi ini, tantangan globalisasi akan menyebabkan ketergantungan yang tinggi terhadap pihak lain dan hilangnya kesempatan untuk bersaing karena minimnya pemanfaatan teknologi informasi.
Disadari betul bahwa perkembangan teknologi informasi yang berwujud internet, telah mengubah pola interaksi masyarakat, seperti interaksi bisnis, ekonomi, sosial, dan budaya. Internet telah memberikan kontribusi yang demikian besar bagi masyarakat, perusahaan / industri maupun pemerintah. Hadirnya Internet telah menunjang efektifitas dan efisiensi operasional setiap aktifitas manusia.
Jhon Chamber, President dan CEO terkemuka di Amerika bahkan menyebut bahwa saat ini revolusi internet memiliki dampak cukup besar bahkan mungkin lebih besar dari revolusi industri yang pernah terjadi .
Pesatnya perkembangan di bidang teknologi informasi saat ini merupakan dampak dari semakin kompleksnya kebutuhan manusia akan informasi itu sendiri. Dekatnya hubungan antara informasi dan teknologi jaringan komunikasi telah menghasilkan dunia maya yang amat luas yang biasa disebut dengan teknologi cyberspace. Teknologi ini berisikan kumpulan informasi yang dapat diakses oleh semua orang dalam bentuk jaringan-jaringan komputer yang disebut jaringan internet.
Meskipun infrastruktur di bidang teknologi informasi di Indonesia tidak sebanyak negara-negara lain, namun bukan berarti Indonesia lepas dari ketergantungan terhadap teknologi informasi. Menurut pengamatan penulis setidaknya ada beberapa aspek kehidupan masyarakat di Indonesia yang saat ini dipengaruhi oleh peran teknologi informasi seperti; pelayanan informasi, transaksi perdagangan dan bisnis, serta pelayanan jasa oleh pemerintah dan swasta.
Perkembangan teknologi informasi termasuk internet di dalamnya juga memberikan tantangan tersendiri bagi perkembangan hukum di Indonesia. Hukum di Indonesia di tuntut untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan sosial yang terjadi. Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa perubahan-perubahan sosial dan perubahan hukum atau sebaliknya tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudahaannya atau mungkin hal yang sebaliknya.
Jeane Nelttje Saly berpendapat bahwa perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat menimbulkan akibat yang menguntungkan dan akibat yang merugikan bagi masyarakat. Menguntungkan masyarakat karena antara lain komunikasi yang mudah dengan menggunakan informasi elektronik. Merugikan karena hukum terkait belum cukup mampu memfungsikan dirinya sebagai sarana ketertiban.
Disinilah tampak jelas bahwa hukum di Indonesia masih tertinggal (bahkan tertinggal jauh) dengan perubahan yang ada di masyarakat. Hukum di Indonesia belum mengenal istilah internet, carding, e-commerce atau istilah lainnya di bidang Teknologi Informasi. Dengan kata lain cyberlaw di Indonesia belum benar-benar terwujud seperti yang diharapkan masyarakat.
Cyberlaw mungkin dapat diklasifikasikan sebagai rejim hukum tersendiri, karena memiliki multi aspek; seperti aspek pidana, perdata, internasional, administrasi, dan aspek Hak Kekayaan Intelektual.
Penulis mendefinisikan cyberlaw atau kata lain dari cyberspace law sebagai aspek hukum yang berkaitan dengan penggunaan teknologi informasi pada ruang maya (cyberspace). Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Barda Nawawi Arief menyebut istilah cyber dengan ”mayantara”. Berbeda dengan Barda Nawawi Arief, Edmon Makarim dari Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi Universitas Indonesia enggan menyebut cyberlaw dengan kata maya. Karena menurut Edmon Makarim, istilah maya lebih tepat diartikan sebagai bias, bukan cyber. Namun apapun istilahnya, sampai saat ini belum ada satupun regulasi di Indonesia yang menyebut atau mendefinisikan istilah cyber atau mayantara. Karena pada dasarnya istilah cyber di Indonesia saat ini bukan merupakan istilah hukum.
Menurut pendangan penulis ada beberapa ruang lingkup cyberlaw yang memerlukan perhatian serius di Indonesia saat ini yakni;
1. Kriminalisasi Cyber Crime atau kejahatan di dunia maya. Dampak negatif dari kejahatan di dunia maya ini telah banyak terjadi di Indonesia. Namun karena perangkat aturan yang ada saat ini masih belum cukup kuat menjerat pelaku dengan sanksi tegas, kejahatan ini semakin berkembang seiring perkembangan teknologi informasi. Kejahatan sebenarnya tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tidak ada kejahatan tanpa masyarakat. Benar yang diucapankan Lacassagne bahwa masyarakat mempunyai penjahat sesuai dengan jasanya . Betapapun kita mengetahui banyak tentang berbagai faktor kejahatan yang ada dalam masyarakat, namun yang pasti adalah bahwa kejahatan merupakan salah satu bentuk prilaku manusia yang terus mengalami perkembangan sejajar dengan perkembangan masyarakat itu sendiri.
2. Aspek Pembuktian. Saat ini sistem pembuktian hukum di Indonesia (khusunya dalam pasal 184 KUHAP) belum mengenal istilah bukti elektronik/digital (digital evidence) sebagai bukti yang sah menurut undang-undang. Masih banyak perdebatan khususnya antara akademisi dan praktisi mengenai hal ini. Untuk aspek perdata, pada dasarnya hakim dapat bahkan dituntun untuk melakukan rechtsvinding (penemuan hukum). Tapi untuk aspek pidana tidak demikian. Asas legalitas menetapkan bahwa tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana jika tidak ada aturan hukum yang mengaturnya (nullum delictum nulla poena sine previe lege poenali) . Untuk itulah dibutuhkan adanya dalil yang cukup kuat sehingga perdebatan akademisi dan praktisi mengenai hal ini tidak perlu terjadi lagi.
3. Aspek Hak Atas Kekayaan Intelektual di cyberspace, termasuk didalamnya hak Cipta dan Hak Milik Industrial yang mencakup paten, merek, desain industri, rahasia dagang, sirkuit terpadu, dan lain-lain.
4. Standardisasi di bidang telematika. Penetapan standardisasi bidang telematika akan membantu masyarakat untuk mendapatkan keamanan dan kenyamanan dalam menggunakan teknologi informasi.
5. Aturan-aturan di bidang E-Bussiness termasuk didalamnya perlindungan konsumen dan pelaku bisnis.
6. Aturan-aturan di bidang E-Government. Apabila E-Government di Indonesia telah terintegrasi dengan baik, maka efeknya adalah pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik.
7. Aturan tentang jaminan keamanan dan kerahasiaan Informasi dalam menggunakan teknologi informasi.
8. Yurisdiksi hukum, cyberlaw tidak akan berhasil jika aspek ini diabaikan. Karena pemetaan yang mengatur cybespace menyangkut juga hubungan antar kawasan, antar wilayah, dan antar negara. Sehingga penetapan yurisdiksi yang jelas mutlak diperlukan.
Upaya yang sedang dilakukan pemerintah saat ini dalam rangka menyusun payung hukum ruang cyber melalui usulan Rancangan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) memang patut dihargai. Rancangan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik memuat beberapa hal yakni;masalah yurisdiksi, perlindungan hak pribadi, azas perdagangan secara e-comerce, azas persaingan usaha usaha tidak sehat dan perlindungan konsumen, azas-azas hak atas kekayaan intelektual (HaKI) dan hukum Internasional serta azas Cyber Crime . Kendati Rancangan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik telah diusulkan dan di bahas oleh Pemerintah (melalui Depkominfo) dan DPR, namun hasil riil berupa disahkannya RUU tersebut menjadi Undang-undang belum tercapai. Menurut pemerintah, masih ada beberapa Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang perlu dilakukan pembahasan lagi. Padahal Rancangan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik menurut pengamatan penulis telah di susun sejak tahun 2001 yang lalu. Waktu yang terbilang cukup lama, jika dibanding dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi.
RUU ITE yang saat ini sedang dibahas merupakan hasil kombinasi antara Rancangan Undang-undang Teknologi Informasi (RUU PTI) dirancang oleh pusat studi hukum teknologi informasi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran dan Rancangan Undang-Undang Tandatangan Digital dan Transaksi Elektronik oleh Lembaga Kajian Hukum Dan Teknologi UI.
Di tingkat Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui komisi khususnya, The United Nations Commissions on International Trade Law (UNCITRAL), telah mengeluarkan 2 guidelines yang terkait dengan transaksi elektronik, yaitu UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce with Guide to Enactment 1996 dan UNCITRAL Model Law on Electronic Signature with Guide to Enactment 2001. Sedangkan di Uni Eropa, dalam upaya mengantisipasi masalah-masalah pidana di cyberspace, Uni Eropa mengadakan Convention on Cybercrime yang didalamnya membahas jenis-jenis kejahatan apa saja yang dikategorikan sebagai cyber crime. Di bdiang perdagangan elektronik, Uni Eropa mengeluarkan The General EU Electronic Commerce Directive, Electronic Signature Directive, dan Brussels Convention on Online Transactions. Aturan-aturan serupa juga dikeluarkan lembaga-lembaga internasional seperti WTO, ASEAN, APEC dan OECD .
Untuk negara-negara berkembang, Indonesia bisa bercermin dengan negara-negara seperti India, Banglades, Srilanka Malaysia, dan Singapura yang telah memiliki perangkat hukum di bidang cyberlaw atau terhadap Armenia yang pada akhir tahun 2006 lalu telah meratifikasi Convention on Cybercrime and the Additional Protocol to the Convention on Cybercrime concerning the criminalisation of acts of a racist and xenophobic nature committed through computer system.
Survei yang dilakukan oleh Stein Schjolberg mantan hakim di Oslo terhadap 78 negara di dunia menempatkan Indonesia sama seperti Thailand, Kuwait, Uganda, dan Afrika Selatan yang belum memiliki perangkat hukum pendukung di bidang cyberlaw.
Indonesia masih tertinggal jauh jika dibandingkan dengan Negara-negara Asia lainnya apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara Uni Eropa yang telah memiliki perangkat hukum lengkap di bidang cyberlaw.
Ketiadaan perangkat hukum di bidang cyberlaw di Indonesia mengakibatkan terjadinya kesenjangan hukum di masyarakat. Namun demikian Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa apabila timbul kesenjangan antara hukum dengan perubahan dalam masyarakat, maka kesenjangan itu termasuk hal yang normal. Karena hukum sebetulnya sudah diperlengkapi dengan peralatan teknik untuk bisa mengatasi kesenjangan tersebut. Dalam keadaan demikian hukum tidak selalu harus di ubah secara tegas. Namun dapat dilakukan adaptasi hukum terhadap perubahan masyarakat .
Untuk membangun pijakan hukum yang kuat dalam mengatur masalah-masalah hukum di ruang cyber (internet) diperlukan komitmen kuat pemerintah dan DPR. Namun yang lebih penting lagi selain komitmen adalah bahwa aturan yang dibuat nantinya merupakan produk hukum yang adaptable terhadap berbagai perubahan khususnya di bidang teknologi informasi. Kunci dari keberhasilan pengaturan cyberlaw adalah riset yang komprehensif yang mampu melihat masalah cyberspace dari aspek konvergensi hukum dan teknologi. Kongkretnya pemerintah dapat membuat laboratorium dan pusat studi cyberlaw di perguruan-perguruan tinggi dan instansi-instansi pemerintah yang dianggap capable di bidang tersebut. Laboratorium dan pusat studi cyberlaw kemudian bekerjasama dengan Badan Litbang Instansi atau Perguruan Tinggi membuat riset komprehensif tentang cyberlaw dan teknologi informasi. Riset ini tentu saja harus mengkombinasikan para ahli hukum dan ahli teknologi informasi. Hasil dari riset inilah yang kemudian dijadikan masukan dalam menyusun produk-produk cyberlaw yang berkualitas selain tentunya masukan dari pihak-pihak lain seperti swasta, masyarakat, dan komunitas cyber.
Selain hal tersebut hal paling penting lainnya adalah peningkatan kemampuan SDM aparatur hukum di bidang Teknologi Informasi mulai dari polisi, jaksa, hakim bahkan advokat khususnya yang menangani masalah-masalah ini. Penegakan hukum di bidang cyberlaw mustahil bisa terlaksana dengan baik tanpa didukung SDM aparatur yang berkualitas dan ahli di bidangnya.
Sumber : http://blogs.depkominfo.go.id/itjen/2008/12/19/cyberlaw-tantangan-bagi-perkembangan-hukum-di-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar